DAMPAK KORUPSI,KOLUSI DAN NEPOTISME
TUGAS MANDIRI
DAMPAK KORUPSI, KOLUSI
DAN NEPOTISME
NAMA
: SITI
MARDIYYAH
NPM
: 160210030
TAHUN
: 2016-2017
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr wb
Puji syukur
kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
ridho-NYA,penulis dapat menyusun makalah tugas mandiri Kewarganeraan tentang
Dampak Kolusi,Korupsi dan Nepotisme ini dengan baik.Tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada google yang telah menjadi sumber referensi dalam
penyusunan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat berguna bagi pembaca yang ingin menambah wawasan mengenai
dampak kolusi koriupsi dan nepotisme.Penulis juga menyadari banyaknya
kekurangan pada pembuatan makalah ini,dan diharapkan para pembaca dapat
memakluminya dan diharapkan dapat memberikan kritik yang membangun ke alamat sitimardiyyah.blogspot.co.id demi kesempurnaan
penulisan makalah yang lain kedepannya nanti.
Batam,31Oktober 2015
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………..2
Daftar
Isi………………………………………………………………………..3
Pengertian
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme………………………………...4
Dampak
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme………...………………………….7
Bentuk-bentuk
Penyalahgunaan KKN……….……………………………..9
Upaya
Penanggulangan KKN….……………………………………………11
Penutup……………………..…….……………………………………………15
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………16
PENDAHULUAN
Pengertian
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere =
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi
secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
-perbuatan melawan hukum
-penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
-perbuatan melawan hukum
-penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)
-penggelapan dalam jabatan
-pemerasan dalam jabatan
-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)
-penggelapan dalam jabatan
-pemerasan dalam jabatan
-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang
muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas/kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kolusi
Kolusi
Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi
di dalam satu bidang industri di
saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, di mana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
memengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah
kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi
tersembunyi.
Kolusi
merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu (Gratifikasi) sebagai pelicin agar
segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi
dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah).
Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
- Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya.
- Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
Jadi secara
garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar
penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat dan Negara.
Cara
pencegahannya perusahaan (atau negara) membuat perjanjian kerjasama yang sehat
dengan perusahaan (atau negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak
untuk mencegah kolusi
Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
Dampak
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme
Seperti yang
kita tahu Korupsi,Kolusi dan Nepotisme sangat merugikan dalam hal apapun,dan
dibawah ini akan dijelaskan tentang dampak negativenya dalam berbagai bidang
diantaranya:
1) DEMOKRASI
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2) EKONOMI
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.
(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3) KESEJAHTERAAN UMUM NEGARA
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
1) DEMOKRASI
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2) EKONOMI
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.
(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3) KESEJAHTERAAN UMUM NEGARA
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BENTUK-BENTUK
PENYALAHGUNAAN
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
1) Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Dua belas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):
Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss.
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
1) Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Dua belas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):
Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss.
Menurut
survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun
menurut abjad):
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang lembek"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
2) Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
3) Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok.
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang lembek"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
2) Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
3) Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok.
Transparansi
Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004
berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang
korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.
Permasalahan
pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya
ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan
dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari
pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat
disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan
kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam
penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam
upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena
memungkinkan memutus mata rantainya.
Upaya
Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
- Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
- mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
- Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
- menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
- hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Menurut Andi
Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa disusun dalam tugas
tindakan terprogram, yaitu
Prevention
Public Education dan Punishment
Prevention
ialah pencerahan untuk pencegahan.
Publik
Education yaitu pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi.
Punishment
adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.
1.Strategi
Preventif Strategi Preventif
diarahkan
untuk mencegah terjadinya korupsi dengancara menghilangkan atau meminimalkan
faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti
Korupsi, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), menyepakati
langkah-langkahuntuk mencegah terjadinya korupsi. Masing-masing negara setuju
untuk:
“...mengembangkan
dan menjalankan kebijaksanaan anti korupsiterkoordinasi dengan mempromosikan
partisipasi masyarakat danmenunjukkan prinsip-prinsip supremasi hukum,
manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik, integritas,
transparan, dan akuntable, ...saling bekerjasama untuk mengembangkan
langkah-langkah yang efektif
untuk
pemberantasan korupsi”
2.Public
EducationPublic Education
atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat
perludigalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi
ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama,
budaya, sosioal, ekonomi, etika, dsb.Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi
secara garis besar bisadikelompokkan menjadi dua:
a)
Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur
pemerintah.
b) Public
education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-lembaga keagamaan,
dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukanuntuk meningkatkan moral anti
korupsi. Publik perlu mendapatsosialisasi konsep-konsep seperti kantor publik
dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang
biaya-biaya sosial,ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi.
3.Strategi
PunishmentStrategi Punishment
adalah
tindakan memberi hukuman terhadap pelakutindak pidana korupsi. Dibandingkan
negara-negara lain, Indonesiamemiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling
banyak, mulai dari peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era eformasi
sampaidengan produk hukum era reformasi, tetapi pelaksanaannya kurangkonsisten
sehingga korupsi tetap subur di negeri ini.Dari sekian banyak peraturan
perundang-undangan anti-korupsi yang ada,salah satu yang paling populer
barangkali UU Nomor 30/2002 tentangKPK. KPK adalah lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan
manapun.
Tugas-tugas
KPK adalah sebagai berikut:
a.Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasantindak pidana korupsi, b.Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasantindak pidana korupsi,
c.Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
d.Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, danmelakukan monitor
terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat penulis paparkan mengenai dampak korupsi,kolusi dan
nepotisme.Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan
makalah ini,karena itu penulis berharap para pembaca dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi kesempurnaan makalah ini dan
penulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna
bagi penulis dan kepada para pembaca.
Kesimpulan
dan Saran
Dari artikel
diatas kita dapat menyimpulkan bahwa korupsi,kolusi dan nepotisme sangat
merugikan bangsa dan Negara oleh karena itu kita sebagai penerus bangsa harus
berusaha memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme agar dimasa depan di
Indonesia tidak terjadi lagi korupsi dan Indonesia bisa menjadi negara yang
lebih baik serta bebas dan bersih dari KKN.
Tumbuhkanlah
budaya malu dan budaya jujur sejak dini karena malu dan jujur adalah sikap yang
bisa mengatasi masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika seseorang sudah
membudayakan rasa malu dan sifat jujurnya maka orang itu tidak akan mau
melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Daftar
Pustaka
ConversionConversion EmoticonEmoticon